Header Ads

Energi dan Sistem Energi dalam Olahraga

Energi dalam olahraga

Energi adalah daya untuk melakukan kerja. Meskipun diketahui dalam berbagai bentuk, energi umumnya diukur dengan satuan panas kilokalori (kkal). Energi ada dua bentuk, energi potensial dan energi kinetik. Manusia membutuhkan energi kinetik untuk melakukan kerja atau aktivitas, sama halnya dengan sebuah mobil yang membutuhkan energi kinetik untuk digunakan. Semakin besar kapasitas mesin mobil seperti jenis mobil lamborghini maka energi kinetiknya semakin besar juga.

Sumber energi potensial diperoleh dimana-mana. Misalnya, badan peloncat yang naik menuju papan loncat mempunyai energi potensial yang sangat besar. Potensi untuk melakukan kerja ini secara jelas dipertunjukkan ketika peloncat meninggalkan papan loncat dan turun dengan cepat ke kolam dibawahnya. Energi potensial juga disimpan dalam bentuk seperti panas dan listrik serta dalam susunan bahan kimia seperti bahan makanan.

Energi kinetik adalah energi gerak, dan oleh karenanya dapat diamati dalam kegiatan olahraga. Dalam atletik kita sering melihat pemindahan energi potensial ke energi kinetik dengan cepat. Dalam contoh yang dikutip sebelumnya, energi potensial pelompat secara cepat diubah bentuknya ke dalam energi kinetik ketika gerakan turun terjadi. Demikian pula halnya dengan pemain tengah belakang pada sepakbola yang berlari cepat ke tengah lapangan mempertunjukkan energi kinetik tingkat tinggi.

Konsep utama mengenai energi disimpulkan dalam hukum dasar fisika. Yakni, energi tidak diciptakan maupun dirusak, tetapi ia dapat berubah bentuk. Jadi, olahragawan tidak menciptakan energi, juga tidak merusak atau membatasinya. Tetapi mereka secara terus menerus mengubah bentuk energi kimia potensial ke energi mekanik kinetik. Perubahan bentuk energi adalah dasar kegiatan otot.
energi dan sistem energi dalam olahraga

Sistem Energi dalam Olahraga

Energi yang berasal dari pemecahan makanan digunakan untuk membentuk persenyawaan kimia adenosin triphospate (ATP) yang ditimbun di dalam mitokondria otot, meskipun demikian jumlah yang tertimbun dalam otot ini pun sangat terbatas, yaitu 4-6 mM/kg otot. ATP tersebut hanya cukup untuk aktifitas cepat dan berat selama 3-8 detik, oleh sebab itu untuk aktifitas yang lama segera diperlukan pembentukan ATP kembali (Fox, 1984:27).
Menurut Fox, (1988:15) Proses pembentukan kembali energi dalam otot, dapat diperoleh melalui 3 cara yaitu:
1. Sistem ATP-PC (Phospagen System)
2. Sistem asam laktat (Lactid Acid System)
3. Sistem Aerobik (Aerobic System)

Macam sistem energi

1. Sistem ATP-PC (Phospagen System)

Sistem phospagen melibatkan phosphocreatin. Phosphocreatin ialah senyawa kimia yang juga didapatkan di sel otot (Soekarman, 1991: 11). Phosphocreatin (PC) jumlahnya sangat sedikit kira-kira empat kali banyaknya ATP, tetapi PC memberikan sumbangan energi tercepat untuk membentuk ATP kembali. Molekul ATP dan PC dalam otot hanya cukup untuk penyediaan energi dengan aktifitas maksimum selama 20-30 detik (Bowers, 1982: 20). Aktifitas maksimum tersebut seperti lompatan, tendangan, pukulan dan gerakan cepat lainnya.

Meskipun energi yang dapat timbul sangat sedikit, tetapi cadangan ini sangat bermanfaat terutama untuk gerakan-gerakan mendadak. Reaksi pemecahan ATP dan PC ini di dalam sel berlangsung sangat cepat, seketika ATP digunakan PC akan segera terpecah dan membebaskan energi untuk membentuk kembali ATP.

Menurut bowers (1992: 79), setelah 60 detik istirahat, pemulihan ATP-PC sekitar 75% dan setelah 180 detik istirahat sekitar 98% ATP-PC telah dibentuk kembali. Dengan karakteristik di atas tersimpul bahwa diperlukan latihan yang tepat untuk meningkatkan cadangan dalam ATP-PC dalam otot.

2. Sistem Asam Laktat (Lactid Acid System)

Sistem ini mengubah glukosa atau glikogen yang ada di sitoplasma sel otot menjadi energi dan asam laktat. Sistem asam laktat terjadi bila mitokondria mengalami kekurangan oksigen sehingga asam piruvat yang semestinya masuk ke dalam mitokondria berubah menjadi asam laktat (Brooks, 1985: 412-418).

Asam laktat yang terbentuk dalam glikolisis anaerobik akan menurunkan pH dalam otot maupun darah, sehingga akan menghambat kerja enzim atau reaksi kimia dalam tubuh terutama dalam sel otot itu sendiri. Hambatan ini menyebabkan kontraksi otot bertambah lemah dan akhirnya terjadi kelelahan. (Janssen, 1989: 12; Soekarman, 1991: 16).

Soekarman (1991: 15) menyimpulkan ciri-ciri sistem asam laktat (glikolisis anaerobik) sebagai berikut :
- Menyebabkan terbentuknya asam laktat yang dapat mengakibatkan kelelahan.
- Tidak membutuhkan oksigen.
- Hanya menggunakan karbohidrat.
- Memberikan energi untuk resintesis beberapa molekul ATP saja.

3. Sistem Aerobik (Aerobic System)

Sistem energi secara aerobik merupakan proses pembentukan energi yang membutuhkan kehadiran oksigen O2 agar prosesnya dapat berjalan dengan sempurna untuk menghasilkan ATP.

Sistem aerobik ini meliputi oksidasi karbohidrat, lemak dan protein yang disimpan dalam sel. Proses oksidasi berlangsung di mitokondria. (McArdle, 1986: 75). Energi (ATP) yang dihasilkan oleh proses oksidasi ini, jauh lebih banyak dibandingkan dengan glikolisis anaerobik. Oksidasi protein hanya terjadi pada keadaan sangat terdesak.

Referensi
  • Bompa TO. 1994. Theory and Methodology of Training The Key to Athletic Performance. 2nd Edition, Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company, Pp 2-14, 57-69, 213-257.
  • Bowers RW, Fox EL. 1992. Sport Physiology. New York: Wm C Brown Publishiner, pp 185-218.
  • Brooks GA, Fahey TD. 1985. Anaerobic Threshold: Review of The Concept and Direction for Future Research. Med Sci Sport 17(1): 412-418.
  • Fox EL. 1984. Sport Physiology. 2nd Edition. Tokyo: Saunders College Publishing, pp 1-150, 202-230.
  • Fox EL, Bowers RW, Foss ML. 1988. The Physiological Basis of Physical Education and Athletic, 4th Edition. Philadelphia: Saunders College Publishing, pp 12-82, 205-315.
  • Janssen PGJM. 1998. Training Lactate Pulse-Rate. New York: Polar Elektro of Publish, pp 12-24, 50-61, 81-105.
  • McArdle WD, Katch FI. Exercise Physiology: Energy Nutrition and Human Performance. 2nd Edition . Philadelphia: Lea & Fabiger, pp 80-125, 234-304.
  • Soekarman. 1991. Enersi dan sistem Predominan pada Olahraga. Jakarta: Komite Olahraga Nasional Indonesia Pusat, hal. 7-45.

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.